MIMPI KITA
MIMPI
KITA
Karya: Sigit Firdaus
Di kesunyian ini, aku merenungi banyakn
hal. Memikirkan apa yang baru saja menimpaku. Aku berpikir apakah akan menjumpai
senja di kemudian hari. Sementara di sampingku, adikku terduduk sambil terisak.
Aku berusaha menghentikan tangisnya dengan menghiburnya.
“Adik, sudahlah. Inilah takdir kita.”
“Takdir? Setelah semua yang terjadi pada
kita kakak masih mengucapkan ini takdir?”
“Sabar Adek, tenanglah! Masih ada kakak
disini.” Ucapku
“Tapi tidak ada Ayah dan Ibu!” balasnya.
“Kamu masih terlalu kecil untuk memahami.
Sabar! Kita harus terima bahwa inilah jalan kita. Tenanglah! Kakak akan mencoba
menjadi pengganti mereka. Percayalah!”
* * *
Ketika telah tiba libur akhir tahun, kami
sekeluarga merencanakan liburan. Kami sekeluarga sangat harmonis. Ayah selalu
membuat waktu kami di rumah serasa sangat menyenangkan. Saat makan malam, ayah
selalu dapat mengambil topik yang menyenangkan. Membuat meja makan terasa
hangat.
Liburan itu, ayah mengajak ke Pantai
Parangtritis. Memang beberapa minggu terakhir, sebelum liburan aku selalu
penasaran dengan liburan di Pantai Parangtritis. Maklum, sebelum itu aku
dinilai belum cukup dewasa.
“Rangga! Panggil Adikmu! Ayah punya kejutan
untuk kalian.” Seru ayahku suatu malam.
“Rafa! Rafa!” teriakku sambil lari-larian.
“Ada apa, Kak?” sahutnya.
“Ayo ikut aku. Kamu dipanggil Ayah.”
Pada malam itu hatiku gembira mendapat
kejutan liburan ke Pantai Parangtritis. Padahal itu adalah awal dari kisah
tragis itu.
* * *
Inilah aku sekarang. Menjadi anak yatim
piatu bersama adikku. Kami beruntung masih mendapat warisan sebuah rumah
setelah kejadian tragis yang menewaskan kedua orang tuaku saat liburan ke
Pantai Parangtritis. Beruntung aku dan adikku selamat.
Pagi itu kami harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Semenjak kejadian itu, kami harus putus sekolah. Saat itu aku
duduk di bangku kelas IV, sedangkan adikku kelas II. Aku termasuk anak yang
cerdas dan aktif. Namun tidak dengan adikku. Apalah arti kecerdasan dan
keaktifan kalau tidak dapat merasakan bangku sekolah. Sudah dua tahun ini
berjalan, aku tak sekolah.
Hidup kami memang memprihatinkan. Meskipun
begini, aku tidak lantas berhenti berdo’a agar mendapat hidup yang lebih baik
dan dapat mengejar mimpiku, yaitu sekolah. Aku selalu menuliskan dalam kertas.
Adikku juga melakukan hal yang sama.
“Wahai Tuhan yang maha pengasih, walaupun
hamba hidup seperti ini, tapi setidaknya hamba ingin meraih mimpi hamba. Ya
Tuhan… ‘Aku ingin kembali sekolah’.” Do’aku dalam kertas yang sama. Tidak
pernah berubah isinya. Di belakangku, adikku melakukan hal yang sama. Tapi aku
tidak pernah tahu apa isi dari kertas do’anya.
* * *
Sambil mendengarkan pelajaran Matematika,
aku melamun tidak fokus mendengarkan pelajaran. Itu karena adiku yang selama
enam bulan terakhir tidak memberikan kabar. Aku sangat khawatir bila terjadi
sesuatu dengannya.
Di sinilah aku. Di salah satu sekolah
menengah pertama favorit di Singapura. Pagi itu, ketika aku menjual hasil
pemulung bersama adikku, ada seorang bapak-bapak berhati malaikat datang
menghampiri kami.
“Dek, namanya siapa?”
“Bapak mau ngapain?” sambil curiga.
“Tenang Dek, Bapak orang baik-baik. Bapak
hanya menawarkan agar Adek sekolah. Masalah biaya gak usah dipikir. Gimana? Mau
gak?” ujar bapak-bapak meyakinkan.
“Ya, saya Rangga. Beneran, Pak?” jawabku
serius memastikan apa yang aku dengar.
“Iya Rangga, Bapak serius.” Jawabnya meyakinkan.
“Iya Rangga, Bapak serius.” Jawabnya meyakinkan.
Sudah kubilang. Inilah takdirku. Takdir
anak yang cerdas dan aktif. Pasti ini berkat kertas do’a selama ini.
* * *
Setelah enam bulan tidak ada kabar dari adikku, pada liburan semester,
aku memutuskan untuk pulang. Ketika melewati kampungku dulu yang kumuh, aku
sempat nostalgia. Yang aku dapatkan dari pandanganku tetap sama dengan dulu,
yaitu banyak sampah berserakan.
Sampailah aku di rumah yang dulu aku tinggal di sana bersama Adikku.
Tapi ada yang aneh. Rumah ini tidak terawat, seperti telah di tinggalkan oleh
pemiliknya. Tiba-tiba salah seorang tetangga mendekat dan mengabarkan berita
yang tak kusangka-sangka.
“Rangga! Adikmu, Rafa, sudah meninggal.”
“Apa?! Kenapa sampai dapat?!” aku masih belum percaya.
“Sebenarnya enam bulan terakhir, Rafa sakit keras. Saat di temukan, dia
dalam posisi bersujud sambil memegang ini.” jelasnya sambil menyodorkan kertas.
Aku tahu, ini adalah kertas do’a Adikku selama ini. setelah aku buka,
aku tidak dapat membendung isak tangisku lagi, karena disitu tertulis “Ya
Tuhan, aku mohon kabulkanlah do’a-do’a kakakku.”
TAMAT…
BIODATA PENULIS
Sigit Firdaus
yang biasa dipanggil Sigit, lahir di Jepara, 21 Januari 2000. Selepas menempuh
pendidikan di MTs Matholi’ul Huda Bugel, Kedung, Jepara, ia melanjutkan
pendidikan di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa
Tengah. Sekarang ia menempuh pendidikan strata-1 di Universitas Nahdlatul
Ulama’ Yogyakarta fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi.
Hobinya yang
suka membaca novel, membuatnya termotivasi ingin menjadi penulis yang terkenal
seperti Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, Tere Liye dan penulis lainya.
Banyak pengalaman organisasi yang pernah diikutinya seperti, Paskibraka, PKS,
Jurnalistik, Pramuka, Englis Club, dan Exact Club. Prestasi yang pernah
dicapainya antara lain, juara 2 Pidato Bahasa Arab dan juara 3 Pidato Bahasa
Inggris.
Sekarang, selain
menjadi mahasiswa aktif di Universitas Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta, dia juga
berkontribusi dalam organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) kecamatan
Sewon dengan menjadi devisi Departemen Pendidikan dan Dakwah. Sering mengikuti
kegiatan-kegiatan diluar kampus seperti Seminar, Diskusi, Dialog Kebangsaan,
dan Bedah buku. Untuk akun media sosial (FB) Tafakkur IlaAlloh, (IG)
sigit_firdaus500, (email) sigitjpr50@gmail.com, (WA) 0822–4515 -5662.
Comments
Post a Comment