saat kau dipanggil
SAAT KAU
DIPANGGIL
Karya: Sigit Firdaus
Di detik, menit, dan jam yang bersamaan Dia
terbaring diatas dipan berkasur putih. Tangan kirinya dililit oleh
selang-selang bening yang mengerikan. Tulisan hijau di mesin berdengking naik
dan turun. Berkedip lagi, naik turun lagi. Seluruhnya di pantau oleh
orang-orang berseragam hijau dan bermasker. Semuanya nampak sibuk dengan
peralatan masing-masing.
Derap langkahku semakin cepat, cepat, dan
tambah cepat suaranya memenuhi lorong rumah sakit yang sunyi. Aku telah sampai
ruangannya, nafasku memburu, mungkin lelah karena sedari tadi aku berlari
kencang dari pintu masuk sampai ke depan ruangan ini. tinggal selangkah,
tinggal selangkah lagi aku masuk kedalam ruangan berkaca dengan tulisan ICU, ke
dalam bilik orang yang akan aku tengok.
“Maaf Dik, anda dilarang masuk ke ruangan.”
Hela seorang perawat di depan pintu.
“Kenapa? Aku hanya ingin bertemu Ayah”
tandusku, “Aku ingin menemuinya, Aku ingin berada di sisinya.”
“Tunggu sampai kondisi normal” kata perawat
yang menghelaku.
“Baru nanti anda boleh masuk.”
Wajahku menunduk. Mataku melihat hampa ke
arah ruang kaca tersebut. Tak berdaya. Satu bulir akhirnya merekah. Menggelayuk
di tepian mata. Pelan, kristal air putih itu bergulir menggelinding. Membentuk
parit di pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tertarik arah gaya gravitasi.
Dia jatuh amat pilu.
Deras menderu. Menghujam keramik putih
rumah sakit.
Mengapa, Ya Tuhan?
Mengapa harus Ayah?
M-E-N-G-A-P-A-?
* * *
Malam terang, langit bersih tak tersapu awan. Bintang tumpah mengukir
angkasa membentuk ribuan formasi. Angina malam membelai rambut dengan lembut,
menyenangkan, menelisik, bernyanyi di sela-sela kuping. Gema takbir memenuhi
jalanan.
Malam ini karnaval hari raya!
Kesenangan melingkupi kota kami. Bedug diggebug bertalu-talu dalam irama
rupa-rupa, sedikit kasidahan menyerupai orkes melayu, dangdut, sedikit nge-rock
juga ada.
Seperti halnya irama bedug, takbir pun
dilafalkan berdasarkan versi masing-masing. Sesuai dengan logat asal-muasal
keturunan mereka. Kalau hendak mendengar aksen ketimura, dengarlah di masjid
sekarang. Akan kental kedaerahan. Dengarlah di masjid ini.
Apapun itu, semuanya sama.
Pawai hari raya ini berlangsung amat meriah.
Berbagai bentuk mascot di arak di jalanan kota. Ada yang berbentuk
wayang-wayangan, hewan, dan banyak kali rupanya.
Lihat itu, Ayah! Dia berjalan di depan arak-arakan masjid kami.
Mengomando seluruh pasukan karnaval masjid kami AL-HIKMAH. Tangan kanannya
memegang speaker. Mengalunkan bunyi merdu gema takbir.
Sedup, sayu, garing, dan gembira. Semuanya
terekam jelas di layar kameraku. Duduk di pinggir jalan. Tidak ikut takbiran
karena sudah besar. Alasanku yang tak logis karena rombongan masjid kami
terdiri bapak-bapak dan kanak-kanak, serta segelintir pemuda. Tapi Ayah
memakluminya.
“Hei, Kak!” seru Ayah. “Ayo, ikut takbiran.
Jangan cuma pegang kamera smbil senyum-senyum sendiri. Nanti malah dikira orang
gila lagi.”
Orang gila??
Hahahaha, aku tersenyum simpul dan tertawa
terpingkal-pingkal. Bukan berarti aku menjadi gila. Namun karena Ayah berbicara
seperti itu di speaker. Lantang sekali suaranya. Menggelegar. Membuatku
malu sekaligus dirinya sendiri. Membuat seluruh rombongan kami tertawa.
* * *
“Dik, kau sudah boleh masuk.” Kata perawat
itu yang baru keluar dari ruangan Ayah.
Aku mendongak. Melihat ke arah perawat itu.
Berjalan tanpa kata ke dalam ruangan. Ke dalam bilik kamar Ayah.
Dia disana, di atas dipan. Matanya masih
terpejam. Mesin di sebelahnya memekik. Naik-turun. Kulihat muka bijaksana Ayah.
Sangat teduh, sangat tenteram.
“Ayahmu pasti tak pernah cerita semua ini
kan, Den… Karena dia orangnya begitu. Tidak ingin orang yang disayangnya
khawatir akan dirinya. Dia cerita semua ini hanya kepadaku, Den. Sahabatnya.”
Cukup, sudah cukup. Aku tak kuasa
mendengarnya. Aku tak sanggup menerima semua kenyataan ini.
“Den, berkali-kali aku membujuk Ayahmu
untuk berobat di singapura. Seluruh biaya kutanggung. Tapi dia tetap tidak mau,
Den. Dia tidak ingin meninggalkanmu sendirian.”
Tolong berhenti! Tolong berhentilah!
Kumohon!
“Karena apa, Den? Karena kau adalah
satu-satunya milik Ayahmu sekarang.”
Air mataku meluap. Tumpah ruah. Mengalir melewati
pipi, kemudian pergi. Jatuh. Menetap di jemari Ayah. Mengalir menuju seprai
putih rumah sakit.
* * *
Waktu bagai berjalan lambat. Enam jam
berlalu. Pukul tiga pagi. Aku yang terkantuk-kantuk masih setengah sadar
memeluk jemari Ayah. Jemari Ayah bergetar. Pelan. Aku membuka mat. Jemarinya
bergerak lagi. Ludahku mengalir di tenggorokan. Mata Ayah pelan membuka.
Kesadaran itu kembali perlahan. Mata Ayah bergerak ke kiri ke kanan. Masih
bayang-bayang. Remang. Melihat ke sebelahnya terhenti.
“D..e..n..i..?” Tanya Ayah pelan. Antara
terdengar dan tidak.
“Ayah minta maaf.”
“Tidak, Yah. Ayah tidak salah kok. Deni
yang salah. Deni yang seharusnya meminta maaf kepada Ayah.”
“Ayah minta maaf ya, Den.” Suaranya
bergetar pelan.
“Ayah meminta maaf karena telah memarahimu
seperti tadi. Terlalu keras. Terlalu emosi.”
“Tidak, Yah. Deni yang meminta maaf.”
Kataku tersedu-sedu. Aitr mataku kembali meluap.
Bibir Ayah tersenyum,
“De…ni…?” memaksakan berbicara.
Aku mendongak. Menatap lamut-lamut wajah
Ayah.
“Mungkin sudah saatnya Ayah pergi, Den.
Menyusul ibumu dan Diana, adikmu.”
Aku menelan ludah. Apa maksudnya ini, Ya
Allah. Apa maksudnya? Kenapa ayah bicara seperti ini.
“Apakah kamu ikhlas, Den? Jika Ayah pergi?”
Ayah bertanya. Mata itu semakin redup. Nafasnya semakin lemah.
Ya Allah. Mendadak aku mengerti semua ini.
Ini kalimat terakhir. Jemariku seketika gemetar menggenggam jemari Ayah.
“Jangan…Kumohon jangan pergi, Yah.”, aku
berseru panik.
Kokok-kokok ayam jago di sekitar rumah
sakit mulai terdengar. Menyambut ditunggu fajar.
“Apakah kau ikhlas kepadaku, nak?” suara
Ayah melemah, nafasnya satu-dua.
“KUMOHON!!! JANGAN PERGI!!!” aku gemetar
merengkah tubuh itu.
“A..pa..kah…?” Ayah menatapku lemah,
menunggu.
Tidak akan ada lagi harapan itu.
Benar-benar tidak ada lagi. Mataku terpana. Menggigit bibir. Mata Ayah masih
menunggu.
Aku m-e-n-g-a-n-g-g-u-k. Sungguh. Ya Allah.
Aku ridho kepada Ayah. Aku ikhlas kepadanya. Anggukanku mengantar kepergiannya.
Mata Ayah pelan menutup.
Menyempit. Hitam.
Pergi selamanya.
Ayah!
Aku mendekat beberapa langkah. Kugenggam jemari Ayah dengan kedua
tangan. Mengelus wajahnya dengan penuh makna. Pucat, putih, wajah itu… wajah
khawatirnya ketika aku sakit. Paniknya, gegabahnya, semuanya berputar dalam
benakku. Seperti kaset video.
“Yah, kenapa Ayah tak bilang?” retapku
dalam keracuan. “Kenapa Ayah pendam ini begitu lama?”
* * *
“Apa yang telah aku lakukan?”
“Aku tak melakukan apa pun!” Aku
menyeringai. Merasa tidak berdosa.
“Dasar pembohong! Ini bukan Fina. Berani-beraninya
kau bohong dengan orang tuamu sendiri. Hah?” gertak Ayah melotot. Lantas
tangannya cepat menyambut rotan diatas meja. Mengancam.
“Mengaku atau ku pukul?”
“Aku tidak melakukan apa pun.”
“Mengaku atau ku pukul!” Rotan itu teracung
ke depan.
“Aku tidak melakukannya!” kataku melawan,
berteriak bahkan. Percuma bukan? Mengaku pun aku pasti dipukul. Tidak ada
bedanya.
“Mengaku atau ku..pu..ku..l !!! pecut rotan
itu semakin dekat.
Diam. Aku putuskan untuk membisu, meski
hatku bersumpah serapah. Jika aku buka mulutku, jadi tambah besar nanti
urusannya. Ayah semakin jengkel. Mengangkat bilah rotannya. Matanya berair. Tak
kuasa menahan emosi.
“Aku lihat semuanya, Den!”, Kata Ayahku
dengan nada gemetar. “Semuanya!”
Nada bicara Ayah kembali meninggi dan gemetar.
“Saat kau berduaan dengannya di pinggir musholla. Aku lihat, Den. AKU LIHAT!”
Aku masih terdiam dalam kebisuan. Sakit
rasanya. Mendengar semua celotehnya. Darimana Ayah tahu. Di sana kan, sudah
tidak ada siapa pun. Sudah kuperiksa.
“Kau pasti sekarang bertanya darimana aku
melihatnyakan?”
Ya. Darimana kau melihatnya, Yah?
“Aku lihat kau dari dalam musholla, Den.”
Ayah mendengus. “Aku lihat semua. Sejelas aku melihatmu sekarang! Saat kau
belau rambut wanita itu! Saat kau mencium keningnya!” Ayah bergidik. “Siapa
dia, Den? SIAPA!”
Maaf, Yah.
Maafkan Deni.
Deni khilaf, Yah.
“Siapa dia, Den? Siapa!” Mata Ayah semakin
membesar.
“Ayo jawab…jawab Den!” Rotan itu meluncur.
Aku
menunduk. Tanganku mengepal, menggigit bibir, bersiap menerima lesatan rotan.
Akan tetapi yang datang bukanlah rotan,
melainkan sebuah cipratan air berwarna merah.
Ayah terbatuk lagi.
Darahnya semakin banyak.
* * *
Pintu bilik kamar Ayah terbuka. Tak berdecit. Membuat tirai ruangan
bergerak-gerak. Membuatku menoleh penasaran.
“Boleh aku masuk, Den?” kata Dokter Rivan. Teman Ayah.
Aku mengangguk. Dia duduk di
sebelahku.
“Ayahmu adalah orang yang hebat. Dia pendam semua rasa sakit ini selama
tiga tahun. Sendirian. Kanker paru-paru stadium tiga. Sungguh hebat dia.”
Tiga tahun! Lama sekali!
“Kenapa Ayah tak bilang??”
“Dia tidak mau khawatir,
Den. Dia tidak mau kau putus sekolah gara-gara uangnya dipakai untuk
pengobatan.”
Ayah ternyata, kau.
“Kau tahu, Den. Ayahmu
menabung seluruh uang untuk berobatnya. Hanya untuk kamu, Den.”
Sedih.
Sakit hatiku.
TAMAT…
Comments
Post a Comment