saat kerinduan itu datang


SAAT  KERINDUAN  ITU  DATANG
Karya: Sigit Firdaus
                                                 
    Aku berdiri terdiam di stasiun ini. Berusaha mengabaikan suara-suara bising dari keramaian jalanan. Sebenarnya Aku takut, tapi Aku mencoba untuk menguatkan hati. Kututup kedua mataku, untuk mengingat-ingat dirimu. Aku igat saat itu. Senyumnya, tatapan teduhnya, tawa lepasnya, semua tentangnya. Aku ingat, setiap menit yang kita lalui. Dia sangat berarti bagiku, namun nampaknya takdir belum mengizinkan kita bersatu. Terkadang Aku berpikir, buat apa Tuhan mempertemukan dua orang namun setelah itu berpisah? Sakit. Semuanya sudah Aku rasakan, tangisan, dan tawa itu.
Dengan hati-hati Aku langkahkan kakiku, menyusuri ruas-ruas stasiun ini. Aku coba memutar kembali semuanya satu per satu. Tentang “Kita” yang dulu pernah bersama. Aku sangat ingat, saat kau pertama kali tertawa, membicarakan hal-hal bodoh tentang dirimu. Menarik tanganku agar Aku tidak tertinggal di kerumunan itu. Menali tali sepatuku agar tidak terinjak olehku. Dan memakan es krimku ketika Aku tidak kuat menghabiskannya. “Kasihan nih es krimnya, kamu tega ya biarin es krimnya meleleh. Aku makan ya.”  Ucapmu dengan sedikit menggodaku. Itu dulu. Dia selalu begitu. Selalu ada alasan untuk memakan es krimku. Sebel terlalu banyak memori tentangmu. Aku masih mengingatnya, tiap hal-hal kecil yang masih terekam jelas dikepalaku. Aneh…
Langkah kakiku terhenti, ketika berada di tempat duduk yang biasa kita duduki ketika menunggu Bus. Dulu Aku melihat sekeliling, dan tak ku sangka akan menemukannya. Memori itu, saat semuanya berawal. Saat kau tiba-tiba mengajakku pulang bersama. Duduk di tempat ini dan kau menatapku lalu menyatakan, tiga kata yang tak pernah ku duga sebelumnya dan akan mengubah segalanya. Aku begitu bahagia. Aku. Kamu. Kita. Lucu ketika mengingat semuanya terjadi secara tidak sengaja. Sesuatu yang awalnya biasa menjadi begitu berarti.
Beberapa nulan belakangan Aku menyadari bahwa Aku benar-benar menyayanginya. Semuanya berlalu biasa saja. Tapi, tak pernah terpikir olehku bahwa kita akan menjadi seperti ini, tak pernah terpikir cintaku akan sesakit ini. Aku tahu semuanya akan berakhir. Ah tidak, Aku tak ingin mengingatnya. Aku tutup lagi semua memori itu dan bergegas bangkit dari tempat duduk kita. Kualihkan pandanganku kepada sekeliling. Aku perhatikan satu persatu orang. Mereka sama sekali tidak peduli padaku. Sibuk sendiri. Bahkan mereka sama sekali tidak tahu akan kehadiranku. Baiklah, sudah cukup hari ini Aku kemari. Aku segera beranjak dari tempat duduk kita. Melangkahkan kakiku untuk menyusuri stasiun lagi. Aku pikir, selamanya kau bisa berada disini, di sisiku. Selamanya Aku bisa menatapmu. Apakah kamu tahu rasanya ketika seseorang yang sangat berarti tiba-tiba pergi dari hidupmu? Sedih, kecewa itu yang Aku dapat. Sudah pasti. Namun rasa sayangku masih lebih kuat untuknya.
Terlalu lama Aku mengekang semua emosi ini. Terlalu lama Aku berselimut kenangan itu. Terlalu cepat kau meninggalkanku. Aku menghentikan langkahku. Pikiranku seketika melayang, saat kau mengatakan itu, dulu.
“Sal, Aku sayang. Sayang banget sama kamu. Tapi, maaf Aku nggak bisa nglanjutin hubungan kita. Aku nggak mau masuk terlalu dalam lagi Sal. Aku harus pergi. Aku harus sembuh. Aku harus pergi untuk sembuh. Ada satu hal yang perlu kamu lakuin ke Aku. Janji? Tolong berjanjilah padaku untuk tidak mengingatku lagi. Maaf, Sal.”  
“Aku tahu, Aku slaha mengingkari janji kita. Tapi Bim, Aku nggak bisa. Aku nggak bisa Bima.”
Tanpa terasa air mataku mulai mengalir di pipiku. Mengikuti lekuk wajahku. Kuresapi setiap rasa sakit di dada ini. Emosiku berantakan ketika mengingat memori itu. Aku kehilangan arah, Bim. Aku buta. Aku mengikuti kemana langkah kakiku berlari. Berlari meninggalkan semua memori payah dalam ingatanku. Aku pengen ketemu kamu, Bim, batinku. Dan sampailah kaki ini berhenti, tepat dimana seharusnya Aku berhenti.
Aku mengusap peluh di dahiku. Capek. Aku hirup udara sejuk disekitarku dan memperhatinkan sekeliling. Tenang banget. Suasana disini tenang, pantas saja Bima betah, desahku. Hm, ternyata tidak pernah berubah. Masih saja sama. Meskipun sekarang lebih berantakan.
“Bima jorok ih?!” ucapku langsung berbalik karena takut menatap Bima.
“Hai, Bima. Apa kabar?” Tanyaku masih memunggungi Bima.
Ih, Aku menunggu jawabannya, tapi Bima hanya diam.
“Bima…” panggilku lirih.
“Aku minta maaf udah ngelanggar janji dari kamu. Masih ingatkan ? jujur Bim, Aku nggak sanggup buat ini semua. Kenapa kamu tega ninggalin Aku? Kenapa?! Bima jawab Aku!” suaraku mulai menaik.
Aku berbalik dan memberanikan diri memeluk Bima. Memeluk Bima yang terbaring dalam tidur panjangnya. Aku menangis sekencang-kencangnya. Meluapkan segala kesedihan dalam dada ini. melepaskan semua kerinduan yang telah lama tertinggal. Meneteskan air mata dalam emosi tak terkendali ini.
“Terasa lega dan nyaman. Terasa hangat dan walaupun Aku tahu kau tak akan pernah bisa kembali untuk menemuiku, bertegur sapa padaku, ataupun memelukku…” Tangisku pecah kembali, menggenggam tanahmu lebih keras.
“Memang terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu, Aku mengetahui bahwa kau tak akan pernah kembali. Mungkin Aku terlalu egois karena tidak bisa melihat kenyataan ini. karena selama ini yang Aku tahu, kebahagiaan itu dalah kamu. Aku sayang kamu, Bim. Seharusnya Aku sadar, akan jarak yang memisahkan kita. Akan ruang yang telah berbeda. Aku mencoba, Bim. Mencoba untuk melepaskan semua ini, tapi tentu saja tidak mungkin melupakannya. Jadi biar seperti ini saja. Kenanganmu, kenangan kita, tetap tinggal di satu sisi hati kecilku.” Aku menghapus air mata yang terjatuh di pipiku, untuk terakhir kalinya. Aku ambil seikat bunga kesukaanmu, dari dalam tasku. Lalu Aku letakkan di atas tempatmu terbaring tidur. Aku sebait do’a untukmu, Bima.
Perlahan Aku berdiri dan berbalik, meninggalkanmu sendiri disini, Bima. Terkadang Aku merasa sesuatu, Bim. Kerinduan. Rindu kamu. Tapi, ceritanya sudah berakhir, Aku ingin membuat cerita yang baru dengan tokoh yang berbeda. Iya, Aku dan Kamu yang lain.

TAMAT…

Comments

Post a Comment